Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, sertatanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia.
Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.
Hasil dari rasa takut akan sisi feminin ini, para pria dipercaya terlampau mematuhi peran pria tradisional sebagai strategi untuk menghindar dari feminitas tadi {(Pleck, 1995) Mahalik 1998}. Pria diajarkan untuk menggunakan peran mereka yang ditetapkan oleh masyarakat sebagi pertahanan psikologis. Ketika seorang
pria dikonfrontasikan dengan sebuah situasi, daripada terlibat dengan masalah tersebut, mereka cenderung berbalik ke stereotip peran gender maskulin. Pria menyimpan emosi mereka dalam-dalam dan walaupun tidak dengan segera mempengaruhi kesehatan, dalam jangka panjang bisa membuat pria menderita. Sosialisasi peran pria yang tidak tepat di masyarakat Amerika juga terjadi dan berdampak di semua demografi masyarakat. Hal ini memberi dampak kepada para pria disemua tingkat sosial, ekonomi, ras dan budaya.
Sosialisasi yang salah akan peran pria adalah topik yang menarik untuk di teliti dan dipelajari karena ini memberi dampak kepada seluruh populasi pria dan ini akan membantu masyarakat sebagai satu kesatuan menyelesaikan masalah gender. Satu cara untuk mulai merubah sosialisasi pria ini adalah menyadarkan masyarakat akan efek psikologis dari 'konflik peran gender'. Di berbagai lembaga kesehatan mental, di
rumah sakit, di institut dan universitas ada banyak jurnal serta artikel yang ditulis mengenai bagaimana perempuan mengalami diskriminasi dan disosialisasikan. Dalam perkembangan jaman dampak dari sosialisasi pria perlu menjadi issu yang sama pentingnya dalam agenda kebijakan publik. Lebih banyak penelitian yang
harus digunakan dan diterbitkan sehingga pesan ini bisa disebarluaskan.
Masalah kesetaraan gender telah menjadi perhatian sosial sejak manusia menginjakkan kaki ke bumi. Pada saat kita berpikir mengenai kesetaraan gender, diskriminasi terhadap perempuan adalah hal yang muncul
dalam benak kita, tetapi selama beberapa tahun terakhir para pakar psikologis dan sosiologis telah memulai studi mengenai diskriminasi terhadap pria. Masih merupakan hal yang awam jika laki-laki memperoleh penghasilan tahunan yang lebih besar dari perempuan, dan adalah benar jika lebih banyak laki-laki yang memegang posisi kuat di masyarakat. Beberapa studi terakhir telah menyimpulkan bahwa ada aspek dalam masyakarat yang bertindak diskriminatif terhadap para pria. Aspek dalam masyarakat ini telah mengakar
dalam budaya masyarakat Amerika dan sulit untuk diberi nama, didiskusikan dan dipelajari. Peran gender bagi para pria kemudian dilihat bukan sebagai pembawaan biologis tetapi sebagai bangunan sosial yang
tercipta dari harapan dari kekuatan sosial seperti orangtua, para guru, rekan sejawat dan media tentang apa yang membentuk kemaskulinan {(Pleck, 1995) Mahalik 1998}. Para pria disosialisasikan untuk mempercayai
arti pentingnya kesuksesan, kekuatan dan persaingan. Karena pengalaman sosialisasi pria diteorikan untuk menciptakan perasaan negatif seperti kegelisahan dan rasa malu adalah hal yang bersifat feminis, perkembangan peran pria tradisional atau konflik peran gender pria {(O’Neil, Helms, Gable, David, & Wrightsman, 1986) Mahalik1998}. Melihat sosialisasi sisi emosional pria dari kerangka paradigma peran gender, banyak remaja pria yang merasa perlu memblokir perasaan mereka dan membatasi ekspresi
kerentanan serta rasa perduli mereka {(Levant) Mahalik 1998}. Oleh sebab itu, "pria menghadapi beberapa aspek dirinya yang dia anggap feminin dengan konflik dan kegelisahan yang tinggi karena dia percaya hal
tersebut mengancam sisi kelelakiannya" (Mahalik, Cournoyer, Defranc, Cherry, and Napolitano 1998).
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Internatioal Federation of Journalists (IFJ) melakukan pertemuan membahas isu kesetaraan gender di media. Pertemuan diikuti oleh 30 wartawan dan wakil organisasi wartawan dari berbagai kota di Indonesia, di Hotel Santika, Jakarta, 26-28 Agustus 2005.
Hasilnya, peserta pertemuan menyerukan kepada perusahaan media, serikat pekerja, dan organisasi jurnalis untuk memberlakukan kebijakan persamaan kesempatan bagi laki-laki maupun perempuan. Rumusan ini dituangkan menjadi “Piagam Kesetaraan Gender.”
Persamaan kesempatan itu meliputi: akses terhadap pelatihan dan pilihan kerja yang didasarkan pada kemampuan individu atas pelatihan atau pilihan kerja/posisi karir; akses yang sama terhadap bidang penugasan; peningkatan karir yang disesuaikan dengan faktor pengalaman, kemampuan, produktivitas dan prestasi kerja; imbalan/remunerasi kerja yang sama.
Selain itu, adanya persamaan kesempatan dalam: kondisi kerja, termasuk jam kerja, masa cuti, liburan tahunan dengan tunjangan, perlindungan kesehatan dan keamanan kerja, juga jaminan keamanan sosial (jamsostek), serta fasilitas-fasilitas kesejahteraan dan keuntungan yang diberikan berkaitan dengan pemberian kerja; pelatihan kesetaraan gender, dan tidak adanya halangan dalam promosi untuk menduduki jabatan struktural.
Piagam ini juga menyerukan adanya kesamaan hak jurnalis sebagai orang tua, dalam bentuk; perpanjangan waktu cuti hamil bagi perempuan dari tiga bulan dengan tunjangan penuh menjadi enam bulan (dengan tiga bulannya di luar tunjangan) untuk memberi hak menyusui para ibu; pemberian hak cuti sebagai orangtua bagi laki-laki di saat kelahiran anak; kesamaan hak perempuan untuk mendapatkan tunjangan kesehatan bagi keluarganya; dalam kondisi khusus, perlu waktu yang fleksibel bagi jurnalis berkaitan dengan jadwal kerja.
Piagam ini juga meminta perusahaan media, serikat pekerja dan organisasi jurnalis merumuskan lebih detail tentang kriteria pelecehan seksual dan sanksinya serta menyediakan pendampingan hukum bagi jurnalis yang mengalami pelecehan seksual oleh narasumber atau pihak lain yang terkait dengan profesinya.
Khusus kepada serikat pekerja dan organisasi jurnalis, diminta untuk memperhatikan komposisi dan jumlah keanggotaan jurnalis perempuan. Salah satu tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk divisi perempuan dalam serikat pekerja. Serikat pekerja juga diminta untuk terus menerus kampanye kesetaraan gender di dalam anggota dan kepemimpinan serikat pekerja.
Kepada perusahaan media, juga diminta untuk lebih peka terhadap isu kesamaan gender dalam melakukan liputan dan memuat pemberitaan. Selain itu, juga diminta menghindari stereotie dan tak mengabaikan perspektif gender dalam melakukan peliputan dan pemuatan berita.
Dalam menapaki karirnya, para jurnalis perempuan kerap mengalami pelecehan yang berasal dari oknum yang arogan. Louise Goodman, wartawan olahraga ITV, Inggris yang bekerja sebagai peliput balap mobil F1 pada tahun 2006 dilecehkan oleh seorang pembalap. Pembalap itu mengomentari pakaian Louise yang terlihat ketat padahal dalam kenyataannya Louise bermaksud menanyai pendapat kegagalan si pembalap menyelesaikan balapan.
Pembalap tersebut masih beruntung karena kru ITV yang menayangkan secara langsung segera memotong adegan wawancara tersebut. Lebih beruntungnya lagi si pembalap tidak dituntut secara hukum yang sepatutnya menjadi hak Louise.
Pelecehan terhadap jurnalis, khususnya perempuan yang dialami Louise terbilang “beruntung” dibanding Veronica Guerin, wartawan Irlandia yang tewas terbunuh mafia narkotik. Melalui laporan investigasi (laporan yang mendalam profesi jurnalis) yang dilakukannya pada tahun 1990an. Di balik profesinya terdapat ancaman,rasa takut, dan persaingan yang seolah jadi momok bersahabat. Meski akhirnya ia mati ditembak usahanya sebagai jurnalis mampu membukakan mata pemerintah Irlandia untuk melakukan perubahan di bidang hukum. Kematiannya mengurangi 15% tingkat kejahatan narkotika di Irlandia saat itu.
Louise Goodman adalah pembawa acara TV asal Inggris yang bekerja di stasiun TV ITV Dia adalah salah satu kru tetap resmi peliputan Grand Prix Formula 1. Di sirkuit balap F1, dia adalah satu dari dua kru yang bertugas mencari berita dan mewawancarai kru tim dan pembalapnya (satunya lagi adalah Ted Kravitz).Louise Goodman bisa diibaratkan sebagai ibu Kartini bagi peliputan siaran langsung Formula 1 yang didominasi pria. Memang dialah wanita pertama (dan satu-satunya) yang menjadi kru resmi ITV untuk peliputan F1, ditengah dominasi kaum pria dalam olahraga bermotor terlaris didunia ini. Jika di Indonesia kita mengenal Feni Rose sebagai pembawa acara F1, atau Widya sebagai pembawa acara MotoGP, maka di Inggris (terutama di ITV) atau di lintasan balap Formula Louise adalah wanita yang cukup disegani.
Suara indah Louise Goodman dapat kita dengarkan saat berlangsungnya balap F1 (jika kebetulan siaran balap F1 di TV Anda merelay dari ITV channel 1 Inggris). Jika ada pembalap atau tim yang terkena masalah, pada saat itulah Louise akan segera beraksi dan mewawancarai pembalap atau tim yang sedang dirundung masalah tersebut.
Semua tim dan pembalap sudah Louise kenal dengan baik, makanya tidak heran ada beberapa kru tim F1 yang menyebutnya sebagai “jurnalis wanita tercepat didunia”.
Louise memiliki postur yang tinggi ketimbang para pembalap F1 pada umumnya. Hal itulah yang menyebabkan dia bisa memakai banyak perhiasan di tangannya.
Kerja jurnalistik kian berkembang seiring perubahan di segala aspek kehidupan. Di Indonesia, karir kejurnalistikan perempuan tidak melulu dari organisasi atau kolektivitas. Sebuah surat kabar terbitan nasional pernah menyurvei aktivitas jurnalis perempuan seperti berikut. Jumlah wartawan perempuan pada tahun 1998 sebanyak 1.036 orang, sedangkan wartawan laki-laki 6.806 orang. Jabatan pemimpin utama, pimpinan redaksi dan pemimpin perusahaan media massa, jumlah perempuan masing-masing hanya 67 dari 871 orang, 47 dari 718 orang, dan 135 dari 835 orang.
Permasalahan yang dihadapi perempuan setelah delapan puluh tahun berlalu hingga kini masih menuntut persamaan hak-haknya yang masih relevan: poligami, perdagangan orang, kekerasan, dan buruh perempuan (wartafeminis). Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2006 mencatat bahwa telah terjadi 20.931 kasus kekerasan terhadap perempuan Indonesia. Meminjam istilah Ahmad Hasan MS peneliti Central for Studies for Religion and Culture (CSRC), selain masalah kekerasan, isu gender masih dimanfaatkan oknum tertentu sebagai simbol dominasi partriarki. Secara tabu perempuan tergolong sebagai warga kelas dua setelah pria. Konstruksi sosial sering terjadi bilamana anak perempuan harus bermain boneka sedangkan anak lelaki harus bermain mobil-mobilan. Pada akhirnya konstruksi tersebut membentuk stereotipe yang menggambarkan kedudukan laki-laki .
Pertanyaan besar muncul di benak kita dan sebagian besar pewarta wanita. Permasalahan-permasalahan menyangkut kehidupan perempuan yang sama hampir ditemukan setiap tahunnya. Pada kenyataannnya keadilan bagi perempuan masih belum terwujud. Kekhawatiran yang wajar untuk mempertanyakan pers perempuan sebagai saluran pembentuk opini publik saat ini.
Indikasi di atas menunjukkan masih sedikitnya jumlah perempuan yang memperoleh kesempatan menduduki jabatan sebagai pengambil keputusan, perumus kebijakan, perencana dan pelaksana pembangunan di bidang media massa menyebabkan kurangnya pemberitaan tentang upaya peningkatan kedudukan dan peran perempuan pada media massa (Profil Wanita Indonesia).
Jika tidak mau melihat keadaan ini semakin larut tanpa penyelesaian maka tinta yang digoreskan tidak berarti apa-apa. Ada baiknya perempuan yang ingin menggeluti bidang jurnalistik untuk memperhatikan hal ini. Bagaimanapun pers mesti berhadapan dengan kekuasaan selain dengan cara pers dapat bertahan hidup serta tugasnya membangun sikap kritis dalam masyarakat.Referensi :
http://zulkarnaen.wordpress.com/2008/04/05/hak-asasi-manusia-dan-kesetaraan-gender/
www.scribd.com/doc/10303805/Gender-Dan-Mediahttp://jakarta.indymedia.org/newswire.php?story_id=363&topic=isuperempuan&results_offset=
http://hugorepeat.blog.friendster.com/goresan-tinta-pewarta-perempuan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Louise_Goodman
Topik 2
0 komentar:
Posting Komentar