Simbolisasi dan arsitektur 1


           Simbol adalah objek, gambar, tulisan, suara, atau tanda tertentu yang mewakili sesuatu yang lain oleh asosiasi, kemiripan, atau konvensi. Secara etymology: symbolum (Latin), symbolonσύμβολον (Greek) .
 Simbol menurut David Fontana, The Secreat Language of Symbols, A Visual Key to Symbols and Their Meanings. Chronicle Books, San Francisco, 1994. Simbol merupakan salah satu cara manusia mengekspresikan sesuatu yang telah berlangsung disemua kebudayaan sepanjang waktu. Mencerminkan intelektualitas, emosi dan spririt manusia. Memungkinkan terjadinya sebagian besar hubungan komunikasi manusia dalam bentuk tertulis maupun verbal, gambar ataupun isyarat. Merupakan bahasa universal lintas budaya dan zaman.
              Menurut Charles Sanders Peirce simbol adalah sesuatu gambar atau tanda yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik.Symbolum (latin).

             Arsitektur adalah seni dan ilmu merancang bangunan dan struktur fisik lainnya. Architectura – Latin dan arkitekton, ρχιτεκτονική – arkhitektonike – Greek. Memiliki arti kepala atau pemimpin dan pembangun atau tukang kayu (Τεκτονική). 

              Arsitektur , dalam definisi yang lebih luas yaitu meliputi semua kegiatan desain; 1) level mikro (desain bangunan atau bangun-bangunan, kompleks bangunan, desain furnitur), 2) tingkat makro (desain perkotaan: kawasan, bagian kota, arsitektur lansekap). Saat ini, arsitektur dapat merujuk kepada aktivitas merancang sistem apapun dan sering digunakan dalam dunia TI.

                Karya arsitektur sering dianggap sebagai :karya seni dan simbol politik dan budaya.

Sejarah peradaban manusia sering diidentikkan dengan karya arsitektur yang masih ada sebagai bagian perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Arsitektur lahir dari dinamika antara :  kebutuhan dan cara
Kebutuhan terdiri dari ;tempat tinggal, keamanan ,ibadah, dll dan cara terdiri dari bahan bangunan, teknologi
keterampilan yang tersedia Arsitektur sebagai tanda atau komunikasi, uraian sederhana berikut preseden, diharapkan dapat membantu memperjelas kualitas penting arsitektur sebagai tanda atau komunikasi.
                 Dalam banyak peradaban kuno, arsitektur dan urbanisme mencerminkan keterlibatan konstan dengan yang ilahi dan supernatural. Budaya tradisional melibatkan faktor-faktor yang bersifat : fisik dan nonfisik. Non fisik; khususnya bersifat simbolik, simbol-simbol digunakan untuk mengkomunikasikan makna susunan tertentu. 

 Candi Brobudur





          Sekitar tiga ratus tahun lampau, tempat candi ini berada masih berupa hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur. Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi,
disebutkan tentang biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.
                Pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825. Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.           

Struktur Candi Borobudur


         Berbentuk punden berundak, yang terdiri dari:enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar, sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Dan beberapa stupa tersebar di semua tingkat-tingkatannya.
         Sepuluh tingkat menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana, yakni menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
           Candi Borobudur merupakan candi Budha, terletak di desa Borobudur kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Nama Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur. Bara dari bahasa Sansekerta berarti kompleks candi atau biara. Sedangkan Budur berasal dari kata Beduhur yang berarti di atas, dengan demikian Borobudur berarti Biara di atas bukit. Sementara menurut sumber lain berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara sumber lainnya mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.
                 Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
 

Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. 
Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. 
Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. 
Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta(Semarang).
                 Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.
                   Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Hal tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi, kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat kerajinan. Selain itu, puncak watu Kendil merupakan tempat ideal untuk memandang panorama Borobudur dari atas. Gempa 27 Mei 2006 lalu tidak berdampak sama sekali pada Borobudur sehingga bangunan candi tersebut masih dapat dikunjungi. 

                   candi ini adalah diatas sebuah bukit dengan tiga lapisan utama pendukung banguan candi, yaitu: lempung edesit tajan dalam tua, tuta dalam lempungan, dan pasir tuta.                                                         
      pembagian Tata Ruang dalam Makna Simbolis : Menurut Kandahjaya, The Master Key for Reading Borobudur Symbolism, hal 21-27, Candi Borobudur mempunyai bentuk denah bujur sangkar, dan memiliki susunan utama yang terdiri atas 3 tingkatan utama.




                                                            

fungsi dan Makna Candi Borobudur :

 Tempat penyimpanan peniggalan-peninggalan yang dianggap suci.
    sebagai tanda untuk memperingati sang Budha.
     Lambang suci Agama Budha

 


                     Filosofi dan Pandangan Hidup Ajaran Budhis Menurut Mangunwijaya, YB, Wastu Citra, hal 120, Penganut ajaran Budha yang datang dari India, Meyakini dengan sepenuhnya bahwa cosmos (alam semesta) penuh keragaman, banyak rupa dan saling bertentangan dan selalu simpang siur. Sesungguhnya apa yang terlihat secara visual, ataupun yang dapat diraba dan kita tangkap melalui panca indera pada hakikatnya hanyalah semu belaka. Ajaran Budha mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu yang mereka pandang dan alami merupakan suatu kosmos yang Agung.
               Seluruh perlambang yang didasari oleh ungkapan-ungkapan filosofi pada candi Borobudur jika dikaji lebih mendalam terdapat korelasi antara makna simbolis yang diimplementasikan dalam wujud fisik arsitektur elemen candi beserta pola-pola yang diprediksikan berasal dari budaya India, dengan konsep kultur yang telah mengakar budaya dalam wastu citra elemen-elemen bangunan serta pola-pola tradisi setempat. Seperti bentuk-bentuk candi yang ada dipulau jawa adalah memiliki konsep filosofi yang sama. Dalam desain arsitekturnya adalah mengunakan konsep Kaki, Badan dan Kepala. Dalam tingkatan kehidupan inilah yang mempengaruhi perkembangan bentuk-bentuk bangunan arsitektur, khususnya bangunan untuk tempat-tempat ibadah.

                      Pemahaman simbolisasi Menurut Drs. Mudjahirin Tohir MA (Ilmu Antropologi Budaya) Terdapat beberapa klasifikasi simbol-simbol dalam konteks kebudayaan salah satunya yaitu :
Simbol Konstitutif (bersifat metafisik) yaitu simbol-simbol dalam kaitannya dengan hal-hal religius, Kepercayaan terhadap sang pencipta.
                      Seperti halnya dalam wastu india, di mana visualisasi perlambangan selalu berorientasi pada kesemestaan jagad, maka wujud-wujud simbolisasi Candi Borobudur inipun banyak mengimplementasikan simbol-simbol konstitutif baik dari wujud material, form (bentuk) maupun Pattern (pola-pola) serta orientasi fisik, karena wujud material, pola, bentuk serta orientasi dari masing-masing komponen selalu ada relevansinya dengan unsur-unsur religi di samping simbol-simbol ekspresif yang menyertai perwujudan dari keseluruhan bangunan candi Borobudur tersebut.
Dalam perwujudan serta fungsi Candi Borobudur maka dalam pemahaman simbol disini adalah secara konstitutif (bersifat metafisik) yaitu simbol-simbol dalam kaitannya dengan hal-hal religius, kepercayaan, terhadap sang pencipta.
                  Simbolisasi Tiga Tahapan Kehidupan Hakiki : Candi Borobudur menggambarkan  3 Hirarki tingkatan dalam kehidupan manusia menurut ajaran budhis. Tiga tingkatan ini di implementasikan dalam bentuk Arsitektur Candi Borobudur. (Architecture Journal 1993)
                     Hal ini sesuai dengan prinsip kosmologi Jawa yaitu bahwa dunia terbagi dalam 3 lapisan, yaitu dunia atas, tempat bersemayamnya para dewa, disini melambangkan bahwa dunia paling atas atas tempat kehidupan yang penuh dengan keheningan dan bebas dari bentuk kehidupan maya atau kehidupan semu sebagai tempat supreme Being, dunia tengah tempat manusia, dan dunia bawah yang mewakili kekuatan-kekuatan jahat di alam, yaitu kekuatan-kekuatan yang penuh angkara murka yang bersifat keduniawian.
Pada lapisan terbawah yang disebut tingkat Kamadhatu, menggambarkan alam purba dibawah sadar, yaitu alam yang masih berbaur bagi kama tanpa bentuk dan warna. Lapisan kedua yang disebut Rupadhatu , yang memvisualisasikan simbolisasi dari keadaan manusia dialam semesta penuh keragaman.
                        Dan lapisan teratas menyiratkan simbolisasi tentang prosesi manusia menuju kesadaran sejati, Wujud dari simbolisasi dari tahap ini yaitu pada bagian stupa-stupa pada tingkat Arupadatu di mana bentuk-bentuk ornamen sudah semakin jarang dan semakin keatas semakin polos sampai pada simbolisasi menuju tahap keheningan mutlak digambarkan dalam bentuk stupa yang meruncing keatas.
Seperti uraian dalan identifikasi terhadap makna simbolis tahapan kehidupan dalam wastu Candi Borobudur yang ditunjukkan dari tingkatan-tingkatan Candi Borobudur mulai dari Kamadatu, Rupadatu sampai pada tingkatan Arupadatu. Korelasi bagian-bagian tersebut ada kesamaannya yaitu bagian kamadatu identik dengan pondasi umpak pada struktur rumah, bagian rupadatu identik dengan pilar-pilar dan tiang serta dinding bangunan rumah dan bagian arupadatu, identik dengan bagian atap rumah.
                 Simbolisasi dunia Purba : simbolisasi yang menggambarkan kosmos (alam semesta) yang penuh dengan keragaman, banyak rupa, serta kesemerawutan dan simpang siur ini pada candi Borobudur divisualisasikan dalam relief-relief dinding dilantai terbawah dan dinding pada lorong-lorong yang berada pada tingkat kamadhatu. Pada intinya relief-relief tersebut menggambarkan adegan-adegan dari karmawibhangga yaitu suatu deskripsi mengenai hukum sebab-akibat atau sering disebut hukum karma .(Mangunwijaya, YB, Wastu Citra, hal 123 ) . Pemahaman terhadap dunia purba pada bagunan candi disimbulkan dalam ungkapan wujud arsitektur berupa keragaman bentuk ornamen/ragam hias yang menggambarkan kehidupan bersifat duniawi yaitu kehidupan yang penuh nafsu dan hasrat duniawi, perilaku yang bersifat amoral pada relief bagian bawah candi borobudur atau kaki Candi.
Dalam hal ini bila kita kaji lebih dalam, pemahaman terhadap filosofi tersebut pada kebudayaan setempat, contoh riil adalah  terlihat seperti pada pola-pola ragam hias pada tiang dan kolom utama rumah-rumah tradisional jawa seperti joglo dan keraton-keraton yang ada di Jawa, yang pada umumnya dibagian bawah dibuat penuh ukir-ukiran dan ragam hias penuh rupa, kemudian makin kebagian atas semakin polos sampai akhirnya bersih dari ragam hias/ukiran.
             Simbolisasi dunia maya : Level ke dua pada candi Borobudur ini mengambarkan kegembiraan yaitu dengan ditampilkanya relief-relief yang mengambarkan tari-tarian, lambang dari usaha memenagkan  kebebasan dari kehidupan maya. (Journal Architecture, 1993, School of Achitecture National University of Singapore) Pada karya Arsitektur Jawa digambarkan dalam bentuk tari-tarian yang pementasannya dilakukan dalam bangunan Pendopo Joglo. Menurut Mangunwijaya, YB, bahwa menari dalam arti asli bukan pementasan keelokan saja, tetapi esensinya ialah meng-arsitekturkan gerak kosmos dalam ruang.
                     Simbolisasi pembebasan diri dari maya yaitu : Wastu yang merupakan simbolisasi dari pembebasan diri dari belenggu kehidupan yang maya menuju ke penyatuan atman (diri relatif) dengan brahman (Keesaan mutlak), divisualisasikan dalam wujud citra gunung yang berbentuk runcing memucuk, dimana asal mula dari bentuk tersebut adalah bidang luas dipenuhi ragam hias serta aneka bentuk menuju kearah puncak yang semakin meruncing semakin polos sehingga akhirnya mencapai titik kulminasi dari seluruh prosesi kejadian menuju puncak Stupa sentral sampai akhirnya
                Simbolisasi Poros Perputaran Jaman : Kelansungan hidup terus menerus, Perputaran jaman terus berjalan nasib Samsara terbelenggu oleh hasrat dan maya yang bergulir tiada berujung pangkal (inkarnasi) . Ini dilambangkan dalam wujud poros cakra yang berbentuk roda besar yang memiliki poros tunggal perlambang poros jagad raya. Penghayatan maya dalam ruang waktu disimbolisasikan dalam lambang : perjalan hidup mengitari suatu poros atau pusar.
             Candi Borobudur dan stupa-stupa sebagai poros untuk dikitari. Sirkulasi para peziarah mengitari Candi Borobudur setiap tingkatan dan lorong-lorong yang ada. Candi Borobudur sebagai simbol pusering jagad dengan searah jarum jam. Hal ini dapat direalisasikan dalam pola-pola ruang, seperti halnya pada pola ruang kawasan Keraton Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat), yang memiliki pola-pola perputaran yang diungkapkan dalam konsep Pradasikna yaitu tiap benteng atau kota harus memiliki jalan keliling pada sisi dinding pertahanan.

                Simbolisasi sumber kehidupan:Konsepsi dalam pemahaman dwitunggal sebagai prinsip penghayatan kosmik sumber kehidupan manusia digambarkan secara lugas sebagai kemanunggalan bermakna yang dicitrakan dalam wujud lingga sebagai simbolisasi alat kelamin laki-laki dan yoni sebagai simbol alat kelamin wanita. Pada candi Borobudur ekspresi tersebut sebenarnya ada pada bagian bawah candi (kamadhatu), Tetapi karena begitu terkesan vulgar dalam visualisainya maka kini telah ditutup (diurug), disamping alasan konstruksif pada struktur fisiknya. Konsepsi dalam pemahaman dwitunggal sebagai prinsip penghayatan kosmik sumber kehidupan manusia digambarkan secara lugas sebagai kemanunggalan bermakna yang dicitrakan dalam wujud lingga sebagai simbolisasi alat kelamin laki-laki dan yoni sebagai simbol alat kelamin wanita. Pada candi Borobudur ekspresi tersebut sebenarnya ada pada bagian bawah candi (kamadhatu), Tetapi karena begitu terkesan vulgar dalam visualisainya maka kini telah ditutup (diurug), disamping alasan konstruksif pada struktur fisiknya. Konsep filosofi teraplikasi dalam denah bangunan Jawa yaitu adanya sentong kanan dan setong kiri serta jero omah. Dimana dalam penempatan ruangan ini membedakan antara wanita dan laki-laki. Dan pada jero omah ditempati oleh orang tua.


 

                 candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja Samarotthungga. Arsitektur yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.

              Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan. Pemugaran selanjutnya oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, setelah itu periode selanjutnya dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.
             Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.
                 Materi Candi Borobudur ,Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.
                Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.
             Sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki atau masih berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu itu sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu itu dari dasar halaman candi sampai ke puncak, alat derek apakah yang dipergunakan?. Gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas? masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmiah, terutama tentang ruang yang ditemukan pada stupa induk candi dan patung Budha, di pusat atau zenith candi dalam stupa terbesar, diduga dulu ada sebuah patung penggambaran Adibuddha yang tidak sempurna yang hingga kini masih menjadi misteri.
                                      Kronologis Penemuan dan pemugaran Borobudur
1814 – Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
1873 – monografi pertama tentang candi diterbitkan.
1900 – pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.
1907 – Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.
1926 – Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.
1956 – pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.
1963 – pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.
1968 – pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.
1971 – pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
1972 – International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.
10 Agustus 1973 – Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai pada tahun 1984
21 Januari 1985 – terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada candi Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali.
1991 – Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.

                     Berdasarkan identifikasi dari makna-makna filosofi yang terkandung pada elemen-elemen bangunan candi, dapat ditarik suatu hubungan korelasi terhadap pola adaptasi dengan kebudayaan setempat dan aplikasi simbol-simbol pada penerapan wujud arsitektur. 

                                                                          Jaringan perkotaan
    Beraturan
    Tidak Beraturan








    Amerika Serikat.
    sistem jaringan ini disusun secara teknis
    nilai tertinggi ditempatkan pada mobilitas dan fieksibilitas

    Kesimpulan: Dalam dunia arsitektur pun terdapat simbol yang memiliki arti-arti tersendiri, dalam simbo, tersebut juga termasuk dalam komunikasi. Sehingga komunikasi dalam dunia arsitektur diperlukan untuk dapat menghasilkan karya yang bagus. Sebuah karya yang bagus tidak hanya bagus bangunannya tetapi harus dilengkapi dengan mengandung simbol-simbol untuk mengartikan bangunan tersebut.


    Referensi : www.google.com



       

     

     

    0 komentar:

    Posting Komentar

    About this blog

    Pengikut

    Diberdayakan oleh Blogger.