Jurnalisme Investigasi

      Sejarah investigasi Menurut Rivers & Mathews sejarah investigasi berawal dari sebelum berdirinya Amerika. Pada 1690, Benyamin Harris menginvestigasi berbagai kejadian di masyarakat dan melaporkannya dalam Public Occurences, Both Foreign and Domestic. Isi laporannya dinilai menentang kebijakan kolonial Inggris. Pada awal sejarahnya, jurnalisme investigasi amat dekat dengan pemberitaan crusading atau jihad. Pada fase selanjutnya, spirit crusading (jihad atau perjuangan) mendapat bentuk yang lebih formal melalui penerbitan New England Courant pada 1721 yang diterbitkan oleh James Franklin.
Istilah investigasi sendiri baru muncul pertama kali dari Nellie Bly ketika menjadi reporter di Pittsburg Dispatch (1890). Bly sampai harus bekerja di sebuah pabrik untuk menyelidiki kehidupan buruh di bawah umur yang dipekerjakan dalam kondisi yang buruk. Keistimewaan laporan jurnalistik investigasi Bly terletak pada tuntutan penyelesaian jalan keluar terhadap problema sosial tersebut. Melalui laporan investigasi, pers diposisikan sebagai pengganti pemerintah yang lemah dalam mengatur masyarakat.
         Bisa dikatakan pada awal kemunculannya, jurnalisme investigasi memakai bentuk perlawanan terhadap kebijakan penguasa. Baru pada awal abad 20 jurnalisme investigasi menegaskan wujudnya di dalam liputan-liputan yang terorganisir ketika melaporkan berbagi pelanggaran yang terjadi.
          Menurut Charneley ada dua hal yang signifikan yang mendasari reportase investigasi, yaitu jurnaisme harus membawa muatan pencerahan publik dan seringkali juga kegiatan perlawanan. Untuk itu, jurnalisme investigas diidentikan dengan istilah jurnalisme crusading. Crusading, dalam sejarah pers Amerika, menyangkut periode Muckraking yang mengekspos perilaku anti-sosial dan kejahatan di dunia pemerintahan dan bisnis. Presiden Theodore Roosevelt bahkan memberi nama muckrakers kepada reporter yang sibuk menyoroti hal kotor dan tidak melihat sisi positif lain dari kehidupan Amerika.
Pada 1902, jurnalisme investigasi menjadi gerakan yang berpengaruh. Hal ini dipicu dari kebijakan berbagai media yang menyatakan sikap jurnalismenya pada reformasi social. Masyarakat pun menyambutnya dengan antusias.
Sejak itu jurnalisme investigasi menjadi bidang usaha pers yang menguntungkan. Sirkulasi sepuluh majalah yang memfokuskan diri pada liputan investigasi mencatat jumlah 3 juta eksemplar pada 1903.
          Menurut Ferguson & Patten, berbagai media pers yang terbit pada awal abad 20 ini saling bekerja sama sebagai pejuang keadilan sosial ketika berbagai surat kabar tidak tertarik memberitakan topic-topik yang idealis dan lebih terfokus pada yellow journalism.
Beberapa wartawan investigasi kemudian mengembangkan gaya penulisan jurnalisme investigasi untuk kepentingan penulisan novel. Pada rentang waktu 1900-1914 muncul asosiasi penulis dan penerbit jurnalisme investigasi. Liputan jurnalisme investigasi pun bertambah populer ketika jurnalis dan medianya menghadapi kekuatan politik Presiden Theodore Roosevelt.
         Dari fenomena periode Muckraking, jurnalisme investigasi tampil ke tengah masyarakat yang membutuhkan informasi yang bisa menjaga nilai dan norma kehidupan dari kemungkinan penyelewengan yang dilakukan berbagai pihak. Wartawan investigasi diantaranya bertugas untuk mengungkapkannya. 

          Sejarah jurnalisme di Indonesia Pelaksanaan jurnalisme investigatif di Indonesia dipengaruhi antara lain oleh sistem politik “keterbukaan dan kemerdekaan pers”. Di negeri ini semuanya terkait dengan sikap penguasa dalam menerapkan kebijakan tentang kebebasan pers. Tidak mengherankan jika media massa Indonesia memberikan gambaran fluktuatif mengenai pemberitaan investigasi. Masalah korupsi yang sudah turun temurun terjadi sejak negara ini merdeka, dapat dilaporkan pers dalam dua gerakan, yaitu “sangat takut” atau “sangat berani”. Hal ini terjadi akibat bergantung pada kondisi politik yang ada. Kegiatan investigasi pers Indonesia ditakut-takuti tindakan pembredelan penguasa. Namun ditengah-tengah tindakan represif penguasa yang besar, masih ada bagian pers yang mengerjakan jurnalisme investigasi. Kasus megakorupsi pertamian pada 1974-1975 dilaporkan oleh surat kabar Indonesia Raya dan majalah Tempo.
        Di Indonesia, harian Indonesia Raya merupakan salah satu media di Indonesia yang banyak dinilai fenomenal di dalam pelaporan investigasi. Visi jurnalisme yang dibangun mengambil konsep advocacy journalism. Sebuah aliran new journalism yang berkembang di Amerika Serikat tahun 1960-an. Format advocacy dipakai untuk satu gaya jurnalistik yang teguh dalam pendiriannya untuk suatu “perbaikan keadaan”. Selain itu, harian ini juga bersifat muckraking paper, yaitu surat kabar yang melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan gegap gempita.
           Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974) bisa dikatakan tipikal awal penerbitan pers yang mengarahkan liputannya ke dalam bentuk investigasi. Pada periode pertama penerbitan (1949-1958), harian ini memiliki visi investigatif untuk melawan kekuasaan yang dianggap bertanggung jawab atas semua keburukan yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan pada periode kedua (1968-1974) harian ini menyoroti kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekauasaan dalam perspektif peristiwa kemasyarakatan.
Pengaruh tiga dekade kekuasaan Orde Baru yang merepresi kehidupan pers Indonesia, telah menjadikan pengenalan insilah investigasi tidak begitu dikenali secara utuh dalam pedoman peliputan pers Indonesia. Pada awal 1980-an, sebuah buku pegangan jurnalistik hanya memapakan “Laporan Investigatif” sebagai “Sebuah Perkenalan” di salah satu subbagiannya. Investigative Report disebut sebagai teknik mencari dan melaporkan sebuah berita dengan cara pengusutan. Sementara itu, Charnley dalam buku Reporting menyatakan investigasi sebagai “laporan mendalam” dan sekedar teknik pencarian berita, serta menegaskan tentang batasan responsibilitas jurnalis untuk objektif, tidak memihak, dan mengabdi pada kepentingan umum.
        Laporan investigasi belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di dalam tubuh pers. Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan laporan jenis ini sebagai sebuah pendekatan yang bersifat temporer. Terdapat beberapa sebab yang menghambat kegiatan peliputan investigatif oleh insan pers. 
    
           Reportase investigatif mulai tumbuh menjadi suatu bibit yang positif biasanya pada negara yang otoriter dan totaliter. Disana seorang jurnalis berusaha menyingkap hal-hal yang selalu ditutupi oleh penguasa, terutama begitu kuatnya tekanan (pressure) terhadap dunia jurnalistik. Nah, baru berkembang pada saat sang penguasa otoriter tumbang. Biasanya, pada zaman negara dipimpin oleh rezim penguasa yang otoriter atau totaliter, banyak jurnalis yang menjadi korban. Ada yang ditangkap, ada yang dibunuh seperti Udin dari Bernas Yogyakarta. Atau medianya ada yang dibredel, seperti kasus Indonesia Raya mengungkap kebobrokan dan korupsi di Pertamina yang melibatkan Soeharto dan Ibnu Sutowo. Atau seperti TEMPO, yang mencoba menulis secara lengkap soal skandal pembelian kapal perang bekas armada Jerman Timur, yang melibatkan Menteri Riset dan Teknologi, waktu itu B.J. Habibie dengan Soeharto dan Liem Soei Liong. 
         Kini, setelah Soeharto tumbang, banyak kasus yang selama ini gelap, mulai bisa diungkap, walaupun masih sedikit, dan masih tampak ditutupi. Masih banyak borok-borok, korupsi, manupulasi dan penyelewengan yang mengakibatkan rakyat sengsara, negara hancur dan kehidupan bangsa semakin terpuruk, untuk diinvestigatif. Misalnya, soal dana Jaringan Pengaman Sosial, dana Golkar, perginya harta Soeharto, bisnis militer, penggelapan pajak, pencucian uang, dan lain-lain, yang semuanya layak diinvestigasi.
          Tahun 1690, pertamakali investigatif reporting dimulai oleh Benjamin Harris. Ia menerbitkan laporannya yang berjudul Public Occurrences, Both Foreign and Domestic (kejadian Umum yang berlangsung di luar dan dalam negeri) . Surat kabarnya dibredel, karena laporan itu tidak seijin Pengadilan Massachussets. Tahun 1721, James Franklin juga pernah harus meringkuk di dalam penjara, karena investigatif reportingnya dianggap opposan. Bahkan Presiden Amerika Serikat, Theodore Rosevelt, pernah marah kepada David Graham Philip, yang menulis laporan berseri The Treason of the Senate (kecurangan di Senat). Di Indonesia sudah banyak reporter yang harus meringkuk di dalam penjara, karena mencoba lebih jauh mengorek informasi dan menerbitkannya.

        Jurnalisme Investigasi menurut Sheila S Coronel Direktur Center Of  Investigative Journalism (PCIJ), bagi seorang jurnalis, harus selalu peka terhadap sebuah laporan yang kelihatannya terlalu sempurna atau benar atau 'too good to be true'. Karena, kata Sheila, tidak ada yang sempurna di dunia ini, pasti ada kekurangannya. Maka, kalau ada laporan peristiwa atau dokumen laporan keuangan yang terlalu rapi atau sempurna, tanpa cacat, maka sebagai jurnalis mestinya harus peka dan berpikir skeptis. ''Lihat dokumen per dokumen, siapa di belakang pembuat dokumen, lihat apa yang ada dalam dokumen. Ini memang butuh waktu yang lama dan juga biaya yang besar,'' kata Sheila. 
     Sheila mengungkapkan beberapa hal tentang jurnalisme investigasi
1. Mengungkapkan fakta baru. Mencari berita yang baru .
2. Umumnya merupakan laporan yang mendalam. Menggali suatu berita secara mendalam dan  detail.
3. Mencari bukti tertulis . Mencari bukti-bukti dari laporan-laporan tertulis.
4. Melakukan penyamaran. Layaknya seperti polisi, jurnalis investigasi pun harus melakukan penyamaran.
5. Menimbulkan dampak sebagai journalism with a impact. 
       Liputan investigasi memenuhi 3 hal, yaitu:
1. Mengungkapkan fakta baru.
2. Harus orisinil, mendalam dan detail.
3. Menyalah gunakan kekuasaan.
     Proses Investigasi
1. Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran, kesalahan hipotesis.
2. Paper trail (pencarian dokumen) yang berupa upaya pelacakan dokumen politik maupun pribadi untuk mencari kebenaran-kebenaran untuk mendukung kebenaran.
3. Wawancara yang mendalam dengan pihak yang terkait dengan investigasi baik para pemain.
          William Mark Felt, Sherron Watkins, dan Inu Kencana memiliki persamaan: mereka adalah whistleblower alias pembocor praktek tak terpuji dari lembaga yang mereka kenal baik. Mark Felt adalah bekas Wakil Direktur Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika Serikat. Pada 1972-1974, dia membocorkan kepada wartawan The Washington Post, Bob Woodward, skandal Watergate yang membuat Richard Nixon mundur sebagai presiden. Mark Felt lebih dikenal sebagai “Deep Throat” karena Woodward menutup rapat jati diri sumber rahasianya itu, sampai Mark Felt sendiri mengaku pada 2005.
         Sherron Watkins bekas petinggi Enron, perusahaan energi di AS. Pada 2001, dia membocorkan penyelewengan keuangan di sana, hingga Enron bangkrut dan sejumlah petingginya harus berurusan dengan hukum. Adapun Inu Kencana identik dengan sumber informasi tentang sejumlah kebobrokan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, tempat dia mengajar.
          Vincentius Amin Sutanto bisa masuk kelompok ini. Sebagai orang yang mengurusi keuangan Asian Agri—perusahaan yang terkait dengan Sukanto Tanoto, yang pada 2006 dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya Indonesia—Vincent membocorkan dugaan penggelapan pajak perusahaan itu kepada Tempo.
Keempat nama di atas adalah pembocor dari kalangan dalam. Mereka “aset” amat berharga dalam investigasi yang dilakukan lembaga-lembaga resmi negara, maupun investigasi “tidak resmi” yang dijalankan media massa melalui praktek jurnalisme investigatif. Semua buku rujukan investigasi menganjurkan wartawan mencari para pembocor dari kalangan dalam ini sebagai sumber informasi penting.
          Para pembocor ini boleh jadi memiliki motif tertentu: ingin membalas ketidakadilan yang mereka alami, ingin memojokkan seteru mereka, ataupun ingin memberantas praktek busuk yang tak sesuai dengan hati nurani mereka. Urusan motif bisa dikesampingkan jika kepentingan publik yang lebih besar tengah dipertaruhkan. Mereka yang paham dunia jurnalistik hingga ke tingkat praktek—bukan sekadar berkutat dengan teori—tentu tidak asing dengan pedoman di atas.
          Kesulitan dan hambatan
-  Keterbatasan waktu, dana, sumber info
- Keraguan editor
- Tantangan dari perusahaan temapat bekerja
- Kasus white collor crime kurang menjadi perhatian publi ketimbang kasus politik (bulogate)
        Dari perencanaan hingga penulisan
- Siapkan usulan dan bahas topik
- Jika perlu, bentuk tim khusus
- Buat outline sementara penulisan dan susun penugasan reportase
- Riset 
- Reportase dan wawancara nara sumber
- Check dan recheck semua data dan informasi
- Konfirmasi utuh dari pihak tertuduh
- Penulisan 
          Tujuan kegiatan jurnalisme investigatif adalah memberi tahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutup-tutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan menjadi waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak, setelah mendapatkan bukti-bukti yang dilaporkan. Bukti-bukti itu ditemukan melalui pencarian dari pelbagai sumber dan tipe informasi, penelaahan terhadap dokumen-dokumen yang signifikan, dan pemahaman terhadap data-data statistik..
        Dorongan moral untuk mendapatkan kebenaran dan mengklarifikasi perbedaan antara benar dan salah, sebagai kandungan kisah-kisah keadilan, memang terkait erat dengan kisah-kisah berita investigatif. Wartawan investigatif kerap menarik masyarakat untuk terlibat mendiskusikan standar moralitas yang harus ditetapkan. Standar yang mereka kenali, dan diyakini akan menyadarkan masyarakat. Secara naluri, mereka membuat batasan antara aturan dan penyimpangan, Maka itulah, di banyak kasus, citra wartawan investigatif menjadi romantik ketika disamakan dengan sosok-sosok yang memiliki keberanian untuk menolak kemapanan aturan dan penyimpangan masyarakat.

          Moral, menurut Mencher (Melvin Mencher, News Reporting and Writing, Brown & benchmanrk Publishers,1997) merupakan unsur penting di dalam peliputan investigasi. Wartawan mengumpulkan segala bukti yang menguatkan fakta, yang hendak disampaikannya kepada masyarakat, adalah didorong oleh motivasi moral: the desire to correct an injustice, to right a wrong, dan persuade the public to alter the situation. Hal itu bermula dari saat wartawan investigasi menemukan sebuah situasi yang buruk, salah, memerlukan perubahan.
            Maka itulah, aktifitas jurnalisme investigasi mencakup fungsi-fungsi to describe, to explain, and to persuade. Mereka kumpulkan akumulasi materi faktual ke dalam gambaran pengisahan yang utuh. Banyak dari pelbagai materi itu yang perlu dijelaskan: dengan mengurutkan kembali letaknya di sebuah konteks, dan menunjukkan keterkaitannya, sebab-akibatnya, atau konsekuensinya.
            Reportase memiliki 3 sumber informasi;
- Observasi (fakta, fakta dan fakta)
- Dokumen
- Wawancara(off/on the record, background info)
        Bob Woodward tiba di The Washington Post pada tahun 1971. He teamed with Carl Bernstein to investigate the 1972 burglary at the Watergate office building. Dia bekerja sama dengan Carl Bernstein untuk menyelidiki pencurian 1972 di Watergate gedung perkantoran. The Post was awarded the Pulitzer Prize in 1973 for the reporting of the Watergate scandal. Post dianugerahi Penghargaan Pulitzer tahun 1973 untuk pelaporan skandal Watergate. Woodward co-authored, with Bernstein, two best-selling books about Nixon and Watergate -- All the President's Men (1974) and The Final Days (1976). Woodward turut menulis, dengan Bernstein, dua buku laris tentang Nixon dan Watergate - Presiden Pria Semua (1974) dan The Final Days (1976). 
             Since then he has written a number of other books, including: The Brethren (1979), about the Supreme Court, with Scott Armstrong; Wired (1984), about the comedian John Belushi; Veil (1987), about the CIA; The Commanders (1991), about the Panama and Persian Gulf wars; Bush at War (2002), on the president's 'war on terror'; and Plan of Attack (2004), on the preparations for the war in Iraq. Sejak itu ia telah menulis sejumlah buku lainnya, termasuk: Ikhwan (1979), tentang Mahkamah Agung, dengan Scott Armstrong; Wired (1984), tentang komedian John Belushi; Veil (1987), tentang CIA; Para Komandan (1991), tentang Panama dan Teluk Persia perang; Bush at War (2002), pada presiden 'perang melawan teror'; dan Rencana Attack (2004), pada persiapan perang di Irak. 
          Woodward was promoted to assistant managing editor for the Metro section in 1979. Woodward dipromosikan menjadi asisten redaktur pelaksana untuk bagian Metro pada tahun 1979. He became assistant managing editor for Investigative News in 1982. Ia menjadi asisten redaktur pelaksana untuk Investigatif News in 1982. 
          Bob Woodward was born in 1943, and grew up in Wheaton, Illinois. Bob Woodward lahir pada tahun 1943, dan dibesarkan di Wheaton, Illinois. He graduated from Yale University in 1965, and served as a communications officer in the US Navy from 1965 to 1970. Dia lulus dari Yale University pada tahun 1965, dan menjabat sebagai perwira komunikasi di Angkatan Laut Amerika Serikat 1965-1970.

Referensi: www.google.com 

1 komentar:

Koukousei Tantei 19 April 2017 pukul 08.23  

Sangat bermanfaat. Terimakasih...

Posting Komentar

About this blog

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.