Iklim Kebebasan Pers Pasca-Orde Baru

         Di Indonesia pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.Pemerintah kolonial kemudian meninggalkan sejumlah aturan yang dibawa ke alam kemerdekaan. Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. Isinya jelas, kontrol terhadap pers.         Setelah G30S 1965 46 dari 163 surat kabar di Indonesia di bredel tanpa batas. Pada Oktober 1966 pelaksannan khusus komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertibab Daerah (Laksus Kopkamtibda) memberlakukkan Surat Ijin Cetak (SIC) bagi setiap terbitan pers di daerah masing-masing. 12 Desember 1966, presiden Soekarno mengesahkan UU RI no 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, dalam pasal 4 tercantum "terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan". 
          Tahun 1974 pemerintah menghentikan "pers oposan" dengan mencabut SIT dari Peppen dan surat Ijin Cetak, dari Laksus Kopkamtibda terhadap 11 surat kabar harian an mingguan dan 1 majalah mingguan berita, sebagai kelanjutan tindakan pemerintah untuk menghentikan demonstrasi mahasiswa (Malari, 15 Januari) antara lain: harian Nusantara, harian Kami, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Pedoman di Jakarta, Suluh Beita Surabaya, mingguan Wenang dan pemuda Indonesia di Jakarta, Mahasiswa Indonesia di Bandung, Indonesia Pos di Ujung Pandang, majalha Ekspres.
         Selama tahun 1974-1978 pers jadi mesin dan terompet pembangunan. Pada awal 1978 muncul larangan terbit 7 harian kota untuk "mendinginkan" suasana akibat demonstrasi mahasiswa akhir 1977 dan awal 1978 antara lain Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, Pos Sore (kini Terbit). Pembredelan terjadi pula pada sedikitnya 7 surat kabar mahasiswa di Jakarta( Salemba, Tridharma), Bandung (Kampus, Integritas, Berita ITB), Yogyakarta (Muhibah) dan Palembang (Aspirasi). Pasca tahun 1978 pers merunduk "Jurnalisme Kepiting".
         Sepanjang 1981 ada 49 "imbauan" (larangan menyiarkan berita tertentu) diterima Sinar Harapa. Pada 20 September 1982 presiden Soeharta menetapkan UU RI NO. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU NO. 4 tahun 1967. SIT yang tercantum dalam UU Pokok pers No. 11/1966 diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dalam UU Pokok Pers No. 21/1982.
         Pada 31 Oktober muncul Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Men/1984 tentang SIUPP, suatu peraturan sebagai pelaksanaan UU Pokok Pers. Ditetapkan di dalamnya bahwa 20 persen saham terbitan pers atau modal perusahaan harus dimiliki wartawan dan karyawan pers. Pada 30 November muncul Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 214A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP.
         The Asian Wall Street Journal ( di Indonesia beredar 3500 eksemplar) tidak diedarkan selama beberapa hari karena memuat tulisan tentang Golkar yang dianggap merugikan citra persiden Soeharo. Pada Oktober 1993, The Jakarta Post mendapat peringatan karena memuat tulisan yang menimbulkan kesan "negatif tentang Menteri Keuangan Malaysia". Menpen Harmoko menuduh para koresponden asing di Indonesia telah mempraktekkan "jurnalisme alkohol" dengan membuat tulisan yang "aneh-aneh" tentang Soeharto dan keluarganya.
           Pada tahun 1994 terjadi bebepara peristiwa, perpecahan ekit kekuasaan (kubu Habbie vs kelompok militer-teknokrat). Pembredelan 3 media (Tempo, Detik, Editor) pada 21 Juni 1994. Muncul protes massal dan terbangun solidaritas di kalangan masyarakat-jurnalis-akademis-akitvis. Mucul pemberontakan jurnalis muda (AJI) yang melawan "PWI-Golkar"nya Harmoko cs.
            Tahun 1998, presiden BJ Habbibie yang nenggantikan Soeharto melalui Menpen Junus Josfiah mencabut ketentuan SIUPP. Pada 1999 presiden Abdurrahman Wahid membuarkan Departemen Penerangan dan membebaskan pers dari upaya kontrol pemerintah. 
           Sejak pertengahan tahun 1970-an di Indonesia dipropagandakan model “jurnalisme pembangunan (development journalism) yang berdasarkan Pancasila, sehingga dikenal dengan istilah “Jurnalisme Pancasila”.
Menjaga stabilitas, kesatuan bangsa dan dukungan aktif dalam proses pembangunan tidak hanya berlaku sebagai
tugas warga negara, melainkan juga kewajiban wartawan (Sudibyo 2004). Dalam pengertian ini, tugas-tugas tersebut dapat dikatakan memiliki sifat misionaris, yang tuntutannya diemban oleh para aktor politik dan
pelaksanaannya yang terus-menerus oleh sebagian besar pelaku media (Said 1990: 39). Menyangkut pengaruh pemerintah dan militer terhadap isi media, tuntutan terhadap jurnalisme pembangunan atau seruan pers yang
“bebas dan bertanggung jawab” sebenarnya hanyalah sebuah eufemisme untuk sensor pemerintah. Contoh yang
paling terkenal untuk masalah ini adalah dengan diberikannya keputusan larangan terbit bagi harian
Indonesia Raya (1974) dan peristiwa pembredelan majalah Tempo, DeTik dan Editor (1994). Selain melalui metode yang represif ini, sehubungan dengan situasi krisis politik terdapat pula „budaya telepon” yang merupakan hambatan dalam sebuah arus informasi yang bebas. “Kami selalu bergantian menjaga telpon. Bila telpon
tidak berdering sebelum kami naik cetak, kami dapat tidur nyenyak. Namun biasanya pada menit-menit terakhir ada telpon dari instansi tertentu, yang berkata kepada kami,  ini dan itu tidak boleh kalian beritakan. Ada seorang perwira tinggi di Dinas Penerangan Militer, yang selalu mencoba untuk menyensor kami […] Dinas intelijen tahu,
siapa yang telah memberikan pernyataan di mana, di mana terjadi pertemuan tidak resmi atau berlangsung sebuah workshop kecil. Dalam workshop tersebut mungkin disampaikan hal-hal yang kritis dan bila di sana ada
sejumlah wartawan, maka akan diteruskan kepada pemimpin redaksi, bahwa hal tersebut tidak boleh
diberitakan. Untuk kami hal itu sudah biasa.”  Wawancara dengan pemimpin redaksi harian Media Indonesia, 27 Oktober 2004.

              Kekerasan dan teror terjadi terus dalam pers, di era Orde baru; Muhammad Syafrudin, wartawan Harian Brnas Yogya yang meninggal setelah dianiaya oleh orang yang tak dikenal pada bulan Agustus 1966. Udin diduga dibunuh karena tulisannya yang kristis terhadap pemerintah atau pejabat militer. 
             Pada Era Reformasi: Bom molotov dilempar oleh orang tak dikenal Juli 2010, pembunuhan Wartawan Rdar Bali 16 Februari 2009 dan Wartawan SUNTv, (RCTI group)tewas dikeroyok massa beberapa hari lalu. Kekerasan terhadap jurnalis makin hari makin meningkat.
              Pada era baru musuh pers adalah negara, ketakutan pada negara saat memberitakan. Pada era reformasi musuh pers adalah ormas-ormas yang ada. Dibawah ini contoh, ormas sebagai musuh pers.





referensi :  
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0202/09/opi01.html
www.fes.or.id/.../Tantangan%20dari%20Dalam,%20Otonomi%20Redaksi.pdf 
http://www.youtube.com/watch?v=QkqC5Xgn3Jw&feature=player_embedded
Topik 1

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.